Minggu, 19 Juni 2011

sosial dan emosi remaja

PERKEMBANGAN SOSIAL DAN EMOSIONAL REMAJA
REMAJA DAN MASYARAKAT
Hubungan seseorang dengan masyarakatnya menjadi semakin penting pada masa remaja Dalam mendidik remaja perlu diarahkan kepada hal-hal yang baik untuk menjaga keselarasan individu dan masyarakat. Hal ini sering menimbulkan bahan konflik karena remaja mempunyai cita-cita sendiri yang ideal yang tidak ditemukan dalam masyarakat. Remaja mengalami pertentangan antara apa yang diidam-idamkan dengan kenyataan yang ada. Pertentangan antara remaja dan masyarakat ini menurut Mollenhauer ada 6 macam:
1. Pertentangan integrasi dan partisipasi kritis
Supaya masyarakat bisa berfungsi dengan baik, maka semua warganya perlu memikul tanggung jawab bersama dan para remaja perlu dipersiapkan untuk hal tersebut. Namun banyak hambatan dan rintangan yang ditemukan bagi para remaja untuk ikut berpartisipasi secara kritis dalam berbagai institusi seperti keluarga, sekolah, serta kahidupan usaha. Tetapi sebagian besar remaja telah mengambil sikap konformitas sehingga biasa menyesuaikan diri dengan pola masyarakat daripada cita-cita sendiri.
2. Pertentangan antara kesempatan dan usaha kearah peningkatan status sosial
Cita-cita merupakan suatu kesempatan yang sama bagi semua orang (warga masyarakat) dan sangat disetujui oleh masyarakat, namun banyak gejala yang ditemukan bahwa seseorang sulit meningkatkan status sosial bila dia terlanjur masuk ke dalam suatu kelompok sosial. Misalnya, anak seorang petani akan tetap berada dalam kelompok petani tadi. Anak seoarng petani juga akan menjadi petani. Tetapi di Indonesia agak lain, Mobilitas orang meningkat maka banyak anak berasal dari kelompok sosial ekonomi yang lebih rendah akan dapat keluar dari kelompoknya, menuntut pendidikan yang lebih tinggi dan akhirnya dapat menenmpatkan dirinya dalam status sosial yang lebih baik.
3. Pertentangan antara sugesti mengenai kehidupan yang serba enak dengan kenyataan yang ada: masih tergantung orang tua
Perkembangan seseorang idealnya adalah mencapai aktualisasi diri atau perwujudan diri. Anak muda masih diliputi penuh cita-cita akan kehidupan yang lebih bebas, mandiri, lepas dari ikatan remaja dan lingkungannya. Dalam waktu luang remaja sering melamunkan kehidupan yang lebih menyenangkan, membeli barang-barang yang disenangi. Namun keadaan itu akan hilang bila ia memilih untuk kawin, artinya mulai melepaskan status interimnya (peralihan). Remaja memasuki kehidupan bertanggung jawab dan waktu luangnya diisi oleh usaha menambah penghasilan hidup yang biasanya menuntut penyesuaian dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
4. Pertentangan antara perhatian mengenai faktor ekonomi dan pembentukan kepribadian
Pertentangan yang terjadi adalah pertentangan yang sungguh-sungguh: numerous fixus dan pengsrutkturan kembali sistem pengajaran yang bersifat ilmiah. Makin banyak anak –anak muda yang ingin melanjutkan ke Perguruan Tinggi sebagai akibat situasi hidup yang lebih baik. Namun pengstrukturan kembali membawa akibat bahwa makin banyak mahasiswa yang diketemukan lebih cocok untuk bentuk pengajaran yang non-akademis dan juga bahwa dari kelompok mahasiswa ada sebagian yang cocok untuk pekerjaan yang tidak terlalu akademis dan sebaian sangat cocok untuk menjadi peneliti, mencapai puncak kerja akademis dan nanti dapat mencapai tangga yang paling tinggi dalam masyarakat. Dalam keseluruhan pendidikan makin nampak bahwa kebutuhan ekonomi makin menguasai pembentukan kepribadian anak.
5. Pertentangan antara fungsi politis dalam pembentukan kepribadian dengan sifat sebenarnya yang tidak politis
Pengertian pembentukan kepribadian yang berasal dari pemikiran neo-humanisme, semula tidak berhubungan dengan pngertian dasar umum yang begitu dibutuhkan oleh setiap orang yang hidup dalam masyarakat yang maju. Pembentukan kepribadian berarti perkembangan sifat-sifat kemanusiaan lepas daripada pekerjaan yang dimilki seseorang. Remaja menginginkan agar sekolah bisa ikut berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, dan tidak hanya mempersiapkan remaja untuk hidup bermasyarakat nanti
6. Pertentangan antara tuntutan rasionalitas dengan kenyataan yang irrasional
Remaja sering diberi pengertian bahwa sikap yang rasional sangat dibutuhkan dalam masyarakat yang sudah maju. Tetapi kenyataan yang ada sangat bertentangan. Rasionalisasi berarti bahwa semua yang terjadi harus bisa dikontrol, dilaksanakan secara terbuka. Meskipun begitu, proses demokratis yang ada dalam masyarakat yang telah maju tidak bisa terlaksana dengan baik dengan dalih tidak ada penilaian-penilain yang cukup mampu atau demi efisiensi pengambilan keputusan.
REMAJA DAN PEKERJAAN
Dalam keadaan yang normal maka orang dapat memilih suatu pekerjaan yang disenanginya. Memilih masih tetap ada bila orang ada kemungkinan sedikit saja untuk dapat memilih suatu pekerjaan, maka ia akan memilih pekerjaan yang paling dekat dengan bakat dan perhatiannya. Dalam hal ini subjektivitas orang akan nampak. Pada anak-anak dan remaja unsur subyektifnya tadi masih sangat menguasai hingga pilihannya tadi tidak bisa terlalu realistis. Pilihan pekerjaan yang sungguh-sungguh, bukanlah suatu tindakan sesaat saja, melainkan merupakan hasil suatu proses pemikiran dan pengalaman tertentu, walaupun hasilnya nanti mungkin juga dapat bersifat sementara.
Ginzberg telah membuat penataan dalam data mengenai proses pemilihan pekerjaan melaui teknik-teknik interview dalam penelitian longitudinal dan transversal. Ia membedakannya dalam tiga periode:
  1. Periode fantasi Terjadi sebelum anak berumur 11 tahun. Disini anak banyak mengadakan identifikasi dengan orang dewasa. Dan membayangkan akan menjadi apa dirinya kelak. Misalnya anak kecil yang membayangkan ingin menjadi jendral pada saat dewasa nanti.
  2. Periode tentatifTerjadi pada usia 11-17 tahun. Sebuah transisi dari fase fantasi menuju pengambilan keputusan yang realistik pada masa dewasa muda. Remaja mengalami kemajuan dari menilai minat mereka (usia 11-12 tahun), kemajuan pada menilai kemampuan (usia 13-14 tahun), sampai menilai nilai-nilai mereka (usia 15-16 tahun). Misalnya seorang anak laki-laki umur 12 tahun yang ingin menjadi dokter karena ia begitu tertarik untuk menolong orang lain, tetapi karena prestasinya yang hanya cukupan saja, ia dianjurkan untuk tidak masuk kedokteran. Maka pada usia 18 tahun ia menentukan untuk menjadi ahli fisioterapi.
  3. Periode realistisKurang lebih terjadi pada usia 17 tahun lebih. Disini terjadi suatu pilihan yang definitif timbul karena kompromi antara pendekatan subjektif, yang timbul pada periode tentatif, dengan kemungkinan-kemungkinan praktisnya. Semakin dewasa cara berpikir dari yang subyektif menjadi pemilihan karir yang realistik terjadi pada usia 17-18 tahun hingga 20 tahunan. Misal, anak laki-laki diatas tadi yang ingin masuk pendidikan fisioterapi dapat saja ditolak pada seleksi masuk atau sesudah menjalani satu tahun pendidikan tingkat pertama. Disini timbul proses menimbang-nimbang berbagai arah perhatian, kecakapan serta kemungkinan-kemungkinan yang optimal.
GInzberg menganggap selesai perkembangan pemilihan perkerjaan pada saat yang semula oleh psikologi perkembangan dianggap sebagai selesainya perkembangan seseorang. Meskipun pilihan pekerjaan jelas merupakan suatu tugas perkembangan remaja dan orang dewasa awal, namun hal itu belum menunjukkan bahwa pilihan yang dilakukan pada masa itu sudah merupakan pilihan yang mantap. Pemilihan pekerjaan adalah suatu proses perkembangan pada kebanyakan orang dan baru berhenti beberapa tahun sesudah mereka mengundurkan diri dari kehidupan pekerjaan, kurang lebih umur 60 dan 65 tahun. Dan Ginzberg juga berpendapat remaja termasuk dalam peralihan periode tentatif ke periode realistis.
Super (1957) mengatakan bahwa konsep diri individu memainkan peran pokok dalam pemilihan karir. Super percaya banyak perubahan perkembangan dalam konsep diri tentang pekerjaan terjadi pada waktu remaja dan dewasa muda. Proses pemilihan pekerjaan dalam arti proses yang menentukan karier, mengikuti proses kelima masa penghidupan, yaitu:
a. Masa pertumbuhan (sampai kurang lebih 14 tahun)
b. Masa Peninjauan/eksploratif (14-24 tahun)
c. Masa penentuan diri (24-44 tahun)
d. Masa Pertahanan (45-64 tahun)
e. Masa Peralihan (mulai 65 tahun)
Sesuai dengan penjelasan di atas, maka remaja ada dalam periode eksploratif.(peninjauan) pada usia 16 dan 20 tahu.
Menurut Wiegersma, klasifikasi pemilihan pekerjaan yang “pasti” ditentukan oleh :
  1. Faktor Esensial, dibedakan :
§ Faktor yang memberikan batas: menentukan batas kemampuan seseorang atas dasar potensi psikis dan fisik dan juga atas dasar pembentukan dan bantuan yang dating dari lingkungan.
§ Faktor yang memberikan arah dan dorongan: datang dari sejumlah faktor personal, sosiologis, social-ekonomis dan sifat watak seseorang.
  1. Faktor Kebetulan
Pengaruh faktor kebetulan kebanyakan adalah kejadian insidental dalam kehidupan seseorang yang dapat menentukan batas kemungkinan seseorang memperoleh pekerjaan ataupun memberikan arahnya. Contoh yang pertama adalah kecelakaan yang hebat, yang kedua misalnya kebetulan berjumpa dengan orang yang berpengaruh.
Kekompleksan keseluruhan faktor-faktor ini menyebabkan anak muda membutuhkan nasehat dan bimbingan dalam memilih suatu pekerjaan. Hal ini terutama dibutuhkan dalam periode tentatif, tetapi pada permulaan periode realistis, dan bahkan juga pada permulaan melakukan pekerjaan. Pusat-pusat bimbingan pekerjaan dan para orang tua mempunyai peranan yang sangat besar dalam hal ini.
REMAJA DAN PERMASALAHANNYA
Orang tua sering mengkhawatirkan anak remajanya bergaul dengan orang yang salah, tetapi sebenarnya, instruksi yang diberikan oleh orang tua mempengaruhi pilihan kelompok teman sebaya dan teman-temannya. Anak muda cenderung kepada anak muda lain yang tumbuh besar seperti mereka, yang selevel dalam prestasi sekolahnya, dalam penyesuaian dan dalam kecenderungan sosial dan anti sosialnya. Pada tahun-tahun awal orangtua mulai membentuk perilaku prososial dan antisosial dengan memenuhi kebutuhan emosional dasar sang anak. Orangtua yang dari anak dengan kenakalan kronis biasanya gagal menegakkan perilaku yang baik pada awal masa kanak-kanak dan bersikap keras atau tidak konsisten, atau kedua-duanya, dalam hal menghukum perilaku yang tidak patut.
Anak-anak yang mempunyai masalah pada umumnya berprestasi buruk di sekolah dan tidak betah dengan teman yang berperilaku sopan, mereka akan mencari teman anak-anak yang tidak popular dan berprestasi rendah untuk saling menguatkan. Remaja yang antisosial cenderung memiliki konflik dengan orangtua. Cara remaja antisosial berbicara, tertawa, atau senang ketika melakukan pelanggaran aturan dan anggukan yang dimengerti oleh mereka menandakan apa yang disebut “deviancy training”
Gaya pengasuhan yang otoritatif dapat membentu para remaja menginternalisasi standar yang dapat menghindarkannya dari pengaruh negative teman sebaya dan membuka diri mereka kearah yang lebih positif.
Pencegahan dan penanganan kenakalan para remaja bisa dilakukan sejak anak-anak, karena kenakalan remaja memilki akar di awal masa anak-anak. Remaja yang ikut serta dalam progiancy training”
Gaya pengasuhan yang otoritatif dapat membentu para remaja menginternalisasi standar yang dapat menghindarkannya dari pengaruh negative teman sebaya dan membuka diri mereka kearah yang lebih positif.
Pencegahan dan penanganan kenakalan para remaja bisa dilakukan sejak anak-anak, karena kenakalan remaja memilki akar di awal masa anak-anak. Remaja yang ikut serta dalam program intervensi masa kanak-kanak tertentu kurang berkecenderungan terlibat masalah. Intervensi ini tidak hanya membidik anak-anak awal tapi juga para remaja. Di samping menandai karakteristik remaja bermasalah, adalah penting untuk mencegah remaja berada dalam setting beresiko tinggi yang mendorong perilaku antisosial. Sekali lagi pengawasan orang dewasa merupakan hal penting terutama setelah sekola, dan malam akhir minggu, ketika para remaja cenderung mengangggur dan terkena masalah. Keikutsertaan dalam ekstrakulikuler sekolah cenderung menurunkan tingkat berhentii sekolah dan penahanan akibat kriminal di kalangaan anak yang beresiko tinggi.
Remaja yang nakal dan baru akan cenderung nakal cenderungberhenti pada tahap kedua Kohlberg: sebagaimana nak prasekolah, mereka menjauhi perilaku yang salah jika diancam hukuman atau takut diketahui. Denag bergerak ke tahap ke tiga, dimana mereka lebih memperhatikan pemenuhan norma dan ekspektasi sosial, mereka dapat mengembangkan ‘penyangga kognitif “ terhadap berbagai godaan. Antar teman sebaya juga dapat menstimulasi pertumbuhan moral apalagi pengaruh yang dibawa teman itu positif.
KESIMPULAN
Jadi perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berprilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial dengan berprilaku yang dapat diterima secara sosial, memenuhi tuntutan yang diberikan oleh kelompok sosial, dan memiliki sikap yang positif terhadap kelompok sosialnya. Perkembangan sosial pada masa remaja (pudertas) merupakan masa yang unik, masa pencarian identitas diri dan ditandai dengan perkembangan fisik dan psikis anak. Pada masa ini sosialisasi anak lebih luas dan berkembang, mereka mulai menjalin hubungan dengan teman-teman laki-lakinya dan mengadakan kencan-kencan (dating). Anak lebih mementingkan teman dari pada keluarga dan mulai timbul banyak pertentangan dengan orang tua. Mereka umumnya belum bekerja dan masih belum mampu menafkahi dirinya sendiri. Karena itu sebaiknya orang tua benar-benar memperhatikan perkembangan anak sampai ia mampu untuk membedakan dan memilih mana yang baik dan buruk untuk dirinya (dewasa). Tetapi tidak dengan bersikap otoriter terhadap anak, supaya anak merasa lebih nyaman dan tidak takut untuk menceritakan konflik-konflik yang terjadi selama masa perkembangannya.
DAFTAR PUSTAKA
Monks, F.J., Knoers, A.M.P. & Haditono, S.R. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1994.
Santrock, J.W. Life Span Development, 9th edition. New York: McGraw Hill, Inc. 2004.
Papalia, Diane E, et.al. Human Development. New York: McGraw Hill, Inc.2008.

Senin, 13 Juni 2011

dasar psikologi pendidikan

DASAR PSIKLOGI PENDIDKAN


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Dasar Psikologis Pendidikan

a.       Pengertian psikologis/Psikologi
Psikologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “psyche” artinya roh dan “logy” artinya ilmu pengetahuan, yang selengkapnya artinya ilmu pengetahuan yang mempelajari jiwa atau ilmu jiwa.
Akan tetapi terjemahan ini kurang tepat, karena bertentangan dengan pandangan dualisme manusia, yang menganggap bahwa manusia itu terdiri dari dua bagian: jasmani dan rohani.

Apabila kita mendengar kata ilmu jiwa, kita dapat seolah-olah terbayang bahwa yang dipelajari oleh ilmu itu adalah sesuatu yang tidak kelihatan atau abstrak yang berada di dalam diri manusia atau makhluk hidup yang lain. Segala sesuatu yang kelihatannya, bersifat jasmaniah pada diri manusia tidak menjadi persoalan.

Tetapi, pengertian jiwa tidak pernah ada kesepakatan dari sejak dahulu. Di antara pendapat para ahli, jiwa bisa berarti ide, karakter atau fungsi mengingat, persepsi akal atau kesadaran. Psikologi adalah ilmu yang sedang berkembang dan pada hakikatnya psikologi dapat diterapkan pada setiap bidang dan segi kehidupan. Oleh karena itu cabang psikologi bertambah dengan pesat, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan aktivitas kehidupan. Cabang psikologi dapat digolongkan berdasarkan kekhususan bidang studinya, baik ilmu dasar (teoritis), maupun yang bersifat terapan (praktis). Penerapan psikologi berkembang ke berbagai aspek kehidupan manusia, demikian juga titik singgung dengan ilmu lain juga semakin banyak, misalnya dengan ilmu manajemen, ilmu ekonomi, ilmu perpustakaan, ilmu sosial dan sebagainy.

Psikoloi pada mulanya di gunakan para ilmuwan dan para filosof untuk memenuhii kebutuhan mereka dalam memahami akal pikiran dan tingkah laku aneka ragam makhluk hidup mulai dari yang primitive sampai yang modern. Namun ternyata tidak cocok, dikarenakan menurut para ilmuwan dan filosof, psikologi memiliki batasan-batasan tertentu yang berada di luar kaidah keilmuan dan etika falsafi. Kaidah saintifik dan patoakan etika filosofi ini tak dapat di bebankan begitu saja sebagai muatan psikologi.

Di sumber lain Psikologi dipandang sebagai ilmu yang ingin mempelajari manusia sebagai suatu kesatuan yang bulat antara jasmani dan rohani. Manusia sebagai individu. $.S. Woodworth memberi batasan tentang psikologi sebagai berikut: “Psichology can be defined as the cience of the activities of the individual.
b.      Pengertian pendidikan dalam arti luas
Pendidika mencangkup seluruh proses dan segenap bentuk interaksi individu dengan lingkungannya, baik secara formal, informal maupun non formal dalam rangka mewujudkan dirinya sesuai dengan tahap perkembangannya secara optimal.
Pendidikan berasal dari kata didik, lalu kata ini mendapatkan awalan kata me sehingga menjadi mendidik yang artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlah/prilaku dan kecerdasan pikiran (Kamus Bahasa Indonesia, 1991:232).

Pendidikan secara harfiah adalah usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik terhadap peserta didik, untuk mewujudkan tercapainya perubahan tingkalh laku, budi pekerti, keterampilan, dan kepintaran secara intelektual, emosional, dan spiritual.

Pendidikan adalah studi yang sistematis terhadap proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan. Sedangkan pendidikan adalah proses pertumbuhan yang berlangsung melalui tindakan-tindakan belajar (Whiterington, 1982:10).
Dari batasan di atas terlihat adanya kaitan yang sangat kuat antara psikologi pendidikan dengan tindakan belajar. Karena itu, tidak mengherankan apabila beberapa ahli psikologi pendidikan menyebutkan bahwa lapangan utama studi psikologi pendidikan adalah soal belajar. Dengan kata lain, psikologi pendidikan memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan yang berkenaan dengan proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan belajar.

Karena konsentrasinya pada persoalan belajar, yakni persoalan-persoalan yang senantiasa melekat pada subjek didik, maka konsumen utama psikologi pendidikan ini pada umumnya adalah pada pendidik. Mereka memang dituntut untuk menguasai bidang ilmu ini agar mereka, dalam menjalankan fungsinya, dapat menciptakan kondisi-kondisi yang memiliki daya dorong yang besar terhadap berlangsungnya tindakan-tindakan belajar secara efektif.
B.     Beberapa aliran dalam dasar psikologi pendidikan
a.       Strukturalisme
b.      Asosiasionisme
c.       Fungsionalisme
d.      Behaviorisme
e.       Psikologi dalam
f.       Psikologi personalistik
g.      Dsb.
Psikologi pendidikan adalah sub disiplin psikologi yang berkaitan dengan teori dan masalah kependidikan yang bersifat praktis yang berguna dalam.
1.      penerapan prinsip-prinsip belajar dalam kelas.
2.      pengembangan dan pembaharuan kurikulum.
3.      ujian dan evaluasi bakat dan kemampuan.
4.      sosialisasi proses-proses dan interaksi dengan pendayagunaan ranah kognitif; dan
5.      penyelenggaraan pendidikan melalui aktivitas keguruan.
Fokus utama kajian psikologi pendidikan adalah interaksi antara pendidik (guru) dengan peserta didik (siswa).
C.    Proses Psikologi Pendidikan
Proses pendidikan adalah mempelajari situasi pendidikan dengan fokus utama interaksi pendidikan. Pekerjaan guru adalah bersifat psikologis dari pada pekerjaan dokter, insinyur atau ahli hukum dan guru hendaknya tidak jemu dengan pekerjaannya.
Namun ada batasan guru dalam mengajar yaitu berdasarkan kurikulum 1975 dan 1994 menurut Pendapat Gage dan Berliner, perlu ditambahkan ( post and during teaching problems ) tugas guru sebagai pengubah perilaku ( behavioral change ) peserta didik. Berdasarkan konsep dasar perilaku ini terdapat beberapa aliran ( paham ).
·         Paham holistic ( Holisme )

Menekankan bahwa perilaku itu bertujuan (pruprosive), yang artinya aspek intrinsik dari dalam diri individu merupakan faktor penentu yang menentukan perangsang (stimulus) yang dating dari lingkungan.
·         Paham Behavioristik (Behaviorisme)

Menekankan bahwa pola-pola perilaku itu dapat dibentuk melalui proses pembiasan dan pengukuran dengan mengkondisikan stimulus dari lingkungan.

D.    Tujuan dan Kegunaan Mempelajari Psikologi Pendidikan

1.      Tujuan Mempelajari Psikologi Pendidikan
·         agar seseorang mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang individu, baik dirinya sendiri maupun orang lain;
·         dapat memberikan perilaku yang lebih bijaksana.
2.      Kegunaan Mempelajari Psikologi Pendidikan
Dan kegunaanya adalah merupakan alat bantu yang penting bagi penyelenggara pendidikan untuk mencapai pendidikan.

E.     Ruang Lingkup Psikologi Pendidikan
Menurut crow & crow, ia mengemukakan bahwa data yang dicoba didapatkan oleh psikologi pendidikan, yang dengan demikian merupakan ruang lingkup  psikologi pendidikan antara lain:
1.      Sampai sejauh mana faktor-faktor pembawan dan lingkungan berpengaruh terhadap belajar;
2.      Sifat-sifat dari proses belajar;
3.      Hubungan antara tingkat kematangan dengan kesiapan belajar (learning readiness);
4.      Signifikansi pendidikan terhadap perbedaan-perbedaan individual dalam kecepatan dan keterbatasan belajar;
5.      Perubahan-perubahan jiwa (inner changes) yang terjadi selaras dalam belajar;
6.      Hubungan antara prosedur-prosedur mengajar dengan hasil belajar;
7.      Teknik-teknik yang sangat efektif bagi penilaian kemajuan dalam belajar;
8.      Pengaruh/akibat relative dari pendidikan formal dibandingakn dengan pengalaman-pengalaman belajar yang insidentasal dan informal terhadap suatu individu;
9.      Nilai/manfaat sikap ilmiah terhadap pendidikan bagi personil sekolah;
10.  Akibat/pengaruh psikologis (psychological impact) yang ditimbulkan oleh kondisi-kondisi sosiologis terhadap sikap para siswa.
F.     Pentingnya Pengetahuan Psikologi Pendidikan bagi Guru
Ilmu ini dapat membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya untuk memahami tingkah laku belajar anak didiknya lebih baik dan memberikan penjasalan bahwa anak sedang dalam keadaan belajar dengan baik atau tidak, namun pada prinsipnya psikologi pendidikan merupakan alat yang penting untuk memahami tingkah laku belajar anak.
Psikologi pendidikan ini sebagai alat bagi guru untuk mengendalikan dirinya, dan juga memberi bantuan belajar kepada peserta didik dalam kegiatan pembelajaran.
G.    Aktivitas Kejiwaan
Menurut psikologi berarti mempelajari tingkah laku manusia, baik yang teramati maupun tidak termati.
1.      Pengamatan Indera
Setiap manusia sehat mentalnya dapat mengenal lingkungan fisik yang nyata, baik di dalam dirinya sendiri maupun diluar dirinya dengan menggunakan organ-organ inderanya.
a.       Penglihatan (Macam-macam penglihatan)
·         penglihatan terhadap bentuk;
·         penglihatan terhadap warna;
·         penglihatan terhadap dalam objek
b.      Pendengarannya
Mendengar atau mendengarkan adalah menangkap atau menerima suara melalui indera pendengarannya. Bunyi mempunyai makna sebagai tanda (signal) dan lambang.
2.      Tanggapan
Didefinisikan sebagai bayangan yang tinggal dalam ingatan setelah kita melakukan pengamatan. Tanggapan diperoleh dari penginderaan dan pengamatan. Tanggapan dipandang sebagai kekuatan psikologis yang dapat menolong atau menimbulkan keseimbangan, ataupun merintangi atau merusak keseimbangan. Dalam tanggapan dapat menghidupkan kembali apa yang telah diamati sebelumnya tapi dapat mengantisipasi yang akan datang.

3.      Fantasi
Dapat didefinisikan sebagai aktivitas imajinasi untuk membentuk tanggapan-tanggapan baru dengan pertolongan tanggapan-tanggapan yang telah ada, dan tanggapan yang baru tidak harus sama atau sesuai dengan benda-benda yang ada. Fantasi ada yang sengaja dan tidak sengajar.Yang sengaja dibagi menjadi dua; (1. fantasi sengajar secara pasif, tidak dikendalikan oleh pikiran dan kemauan; 2. fasntasi secara aktif, yang dikendalikan oleh pikiran dan kemauan.)
Fantasi sengaja maupun tidak sama-sama bersifat mengabstrasikan, mendeterminasikan membentuk gambaran baru. Karena itu kegiatan pembelajaran hendaknya berusaha mengembangkan fantasi anak secara sehat karena akan mengembangkan intelektualnya menjadi lebih bermakna dan mampu mententramkan suasana bathinya.
4.      Ingatan
Mengingat berarti menyerap atau melekatkan pengetahuan dengan jalan pengecaman secara aktif.
Fungsi ingatan meliputi tiga aktivitas yaitu
1.      mencamkan, yaitu menangkap atau menerima kesan-kesan;
2.      menyimpan kesan-kesan;
3.       mereproduksi kesan-kesan.
Mencamkan suatu kesan akan lebih kuat apabila;
1.      dibantu dengan penyuaraan;
2.      konsentrasi;
3.      efektif;
4.      menggunakan titian ingatan;
5.      struktur bahan yang dicamkan jelas.
5.      Pikiran dan Berpikir
Pikiran dapat diartikan sebagai kondisi letak hubungan antar bagian pengetahuan yang telah ada dalam diri yang dikontrol oleh akal. Berpikir sebagai proses menentukan hubungan-hubungan secara bermakna antara aspek-aspek dari suatu bagian pengetahuan
6.      Perhatian
Adalah cara menggerakkan bentuk umum cara bergaulnya jiwa dengan bahan-bahan dalam medan tingkah laku. Macam-macam perhatian; (1) perhatian spontan yaitu perhatian yang tidak sengaja; (2) perhatian intensif yaitu perhatian yang banyak dikuatkan oleh banyaknya rangsangan; (3) perhatian terpusat yaitu perhatian yang tertuju kepada lingkup objek yang sangat terbatas
7.      Perasaan
Perasaan dapat diartikan sebagai suasana psikis yang mengambil bagian pribadi dalam situasi, dengan jalan membuka diri terhadap suatu hal yang berbeda dengan keadaan atau nilai dalam diri. Apa yang baik, menarik dan indah menurut seseorang belum tentu demikian bagi orang lain, penilaian subjek terhadap suatu objek, membentuk perasaan subjek yang bersangkutan. Keadaan emosi yang stabil maupun goncang amat mempengaruhi perasaan, karena itu pendidikan hendaknya mengenal serta mengusahakan stabilitas emosi anak didik dengan jalan menyeimbangkan emosi anak didik.

PSIKOLOGI TENTANG MORAL DAN AGAMA ANAK


MORAL DAN AGAMA ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Moral berasal dari kata Latin “mos” (moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai, atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai dan prinsip moral. Nilai-nilai moral itu seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, larangan berjudi, mencuri, berzina, membunuh dan meminum khamar. Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.

Sejalan dengan perkembangan social, perkembangan moral keagamaan mulai disadari bahwa terdapat aturan-aturan perilaku yang boleh, harus atau terlarang untuk melakukannya. Aturan-aturan perilaku yang boleh atau tidak boleh disebut moral.
Proses penyadaran moral tersebut berangsur tumbuh melalui interaksi dari lingkungannya di mana ia mungkin mendapat larangan, suruhan, pembenaran atau persetujuan, kecaman atau atau celaan, atau merasakan akibat-akibat tertentu yang mungkin menyenangkan atau memuaskan mungkin pula mengecewakan dari perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.
Dalam penulisan makalah ini akan dibahas bagaimana tahap dan tingkat perkembangan moralitas anak, hubungan antara perkembangan moral dan intelektual anak, perkembangan keagamaan anak, serta proses penghayatan keagamaan anak.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah tingkat dan tahapan perkembangan moralitas anak?
2. Bagaimana hubungan antara perkembangan moral dan intelektual pada anak?
3. Bagaimana tahapan perkembangan penghayatan keagamaan anak?
4. Bagaimana proses pertumbuhan pengahayatan keagamaan pada anak?
C. Prosedur Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah dalam makalah ini menggunakan prosedur sebagai berikut: mengumpulkan data tertulis dari sumber-sumber dan pendapat para tokoh untuk menjawab rumusan masalah, reduksi data dan menyimpulkan data.
D. Sistematika Uraian
Sistematika uraian makalah ini terdiri dari empat bagian, yaitu pertama, pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, prosedur pemecahan masalah dan sistematika uraian. Kedua, isi atau kajian teori dari perkembangan sosial anak berdasarkan beberapa buku sumber. Ketiga, kesimpulan dan implikasinya terhadap pendidikan
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PEMBAHASAN
A. Tingkat dan Tahapan Perkembangan Moralitas
Bayi tidak memiliki hirarki nilai dan suara hati. Bayi tergolong nonmoral, tidak bermoral maupun tidak amoral, dalam artian bahwa perilakunya tidak dibimbing nilai-nilai moral. Lambat laun ia akan mempelajari kode moral dari orang tua dan kemudian dari guru-guru dan teman-teman bermain dan juga ia belajar pentingnya mengikuti kode-kode moral.
Belajar berperilaku moral yang diterima oleh sekitarnya merupakan proses yang lama dan lambat. Tetapi dasar-dasarnya diletakkan dalam masa bayi dan berdasarkan dasar-dasar inilah bayi membangun kode moral moral yang membimbing perilakunya bila telah menjadi besar nantinya.
Karena keterbatasan kecerdasannya, bayi menilai besar atau salahnya suatu tindakan menurut kesenangan atau kesakitan yang ditimbulkannya dan bukan menurut baik dan buruknya efek suatu tindakan terhadap orang lain. karena itu, bayi menganggap suatu tindakan salah hanya bila ia merasakan sendiri akibat buruknya. Bayi tidak memiliki rasa bersalah karena kurang memiliki norma yang pasti tentang benar dan salah. Bayi tidak merasa bersalah kalau mengambil benda-benda milik orang lain karena tidak memiliki konsep tentang hak milik pribadi.
Bayi berada dalam tahap perkembangan moral yang oleh Piaget (Hurlock, 1980) disebut moralitas dengan paksaan (preconventional level) yang merupakan tahap pertama dari tiga tahapan perkembangan moral. Tahap ini berakhir sampai usia tujuh sampai delapan tahun dan ditandai oleh kepatuhan otomatis kepada kepatuhan otomatis kepada aturan-aturan tanpa penalaran atau penilaian.
Apabila awal masa kanak-kanak akan berakhir, konsep moral anak tidak lagi sesempit dan sekhusus sebelumnya, anak yang lebih besar lambat laun memperluas konsep social sehingga mencakup situasi apa saja, lebih daripada hanya situasi khusus. Di samping itu, anak yang lebih besar menemukan bahwa kelompok sosial terlibat dalam berbagai tingkat kesungguhan pada pelbagai macam perbuatan. Pengetahuan ini kemudian digabungkan dalam konsep moral
Menurut Piaget, antara usia lima dan dua belas tahun konsep anak mengenai keadilan sudah berubah. Pengertian yang kaku dan keras tentang benar dan salah, yang dipelajari dari orang tua, berubah dan anak mulai memperhitungkan keadaan-keadaan khusus di sekitar pelanggaran moral. Jadi menurut Piaget, relativisme moral menggantikan moral yang kaku. Misalnya bagi anak lima tahun, berbohong selalu buruk, sedangkan anak yang lebih besar bahwa dalam beberapa situasi, berbohong dibenarkan, dan oleh karena itu, berbohong tidak selalu buruk.
Kohlberg memperluas teori Piaget dan menamakan tingkat kedua dari perkembangan moral akhir masa kanak-kanak sebagai tingkat moralitas konvensional (conventional level) atau moralitas dari aturan-aturan dan penyesuaian konvensional. Dalam tahap pertama dari tingkat ini yang disebutkan Kohlberg moralitas anak baik, anak mengikuti peraturan untuk mengambil hati orang lain dan untuk mempertahankan hubungan-hubungan yang baik. Dalam tahap kedua, Kohlberg mengatakan bahwa kalau kelompok social menerima peraturan-peraturan yang sesuai bagi semua anggota kelompok, ia harus menyesuaikan diri dengan peraturan untuk menghindari penolakan kelompok dan celaan.
Tahap perkembangan ketiga, moralitas pasca konvensional (postconventional). Dalam tahap ini, moralitas didasarkan pada rasa hormat kepada orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat pribadi.
B. Hubungan Perkembangan Moralitas dengan Intelektual
Perkembangan moral pada awal masa kanak-kanak masih dalam tingkat yang rendah. Hal ini disebabkan karena perkembangan intelektual anak-anak belum mencapai titik dimana ia dapat mempelajari atau menerapkan prinsip-prinsip abstrak tentang yang benar dan salah. Ia juga tidak mempunyai dorongan untuk mengikuti peraturan-peraturan karena tidak mengerti manfaatnya sebagai anggota kelompok social.
Karena tidak mampu mengerti masalah standar moral, anak-anak harus belajar berperilaku moral dalam berbagai situasi yang khusus. Ia hanya belajar bagaimana bertindak tanpa mengetahui mengapa. Dan karena ingatan anak-anak, sekalipun anak-anak sangat cerdas, cenderung kurang baik, maka belajar bagaimana berperilaku social yang baik merupakan proses yang panjang dan sulit. Anak-anak dilarang melakukan sesuatu pada suatu hari, tetapi pada keesokan harinya atau dua hari sesudahnya mungkin ia lupa. Jadi anggapan orang dewasa sebagai tindakan tidak patuh seringkali hanyalah merupakan masalah lupa.
Menurut Conger, terdapat hubungan yang sangat erat antara perkembangan kesadaran moralitas dengan perkembangan intelektual. Ia menunjukkan bahwa tiga level perkembangan kesadaran moral itu sejalan dengan periode perkembangan kognitif dari Piaget.
Selanjutnya Hurlock menjelaskan bahwa anak yang mempunyai IQ tinggi cenderung lebih matang dalam penilaian moral daripada anak yang tingkat kecerdasannya lebih rendah, dan anak perempuan cenderung membentuk penilaian moral yang lebih matang daripada anak laki-laki.
C. Perkembangan Penghayatan Keagamaan
Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Allah Swt, adalah dia dianugerahi fitrah (perasaan dan kemampuan) untuk mengenal Allah dan melakukan ajaran-Nya. Dengan kata lain, manusia dikaruniai insting religius (naluri beragama). Karena memiliki fitrah ini, manusia dijuluki sebagai “Homo Devinans” dan “Homo religious” yaitu makhluk yang bertuhan dan beragama.
Dengan kehalusan dan fitrah tadi, pada saat tertentu, sesorang setidak-tidaknya pasti mengalami, mempercayai bahkan meyakini dan menerimanya tanpa keraguan, bahwa di luar dirinya ada suatu kekuatan yang Maha Agung yang melebihi apapun termasuk dirinya. Penghayatan seperti itulah oleh William James (Gardner Murphy,1967) disebut sebagai pengalaman religi atau keagamaan (the existence of great power) melainkan juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata hidup manusia dan alam semesta raya ini. Karenanya, manusia memenuhi aturan itu dengan penuh kesadaran, ikhlas disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual baik secara ritual maupun kolektif, baik secara simbolik maupun dalam bentuk nyata dalam hidup sehari-hari.
A. Tahapan Perkembangan Penghayatan Keagamaan
Sejalan dengan perkembangan kesadaran moralitas, perkembangan penghayatan keagamaan, yang erat hubungannya dengan perkembangan intelektual di samping emosional dan volisional (konatif), mengalami perkembangan. Para ahli sependapat bahwa pada garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan dapat dibagi dalam tiga tahapan yang secara kualitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Tahapannya adalah sebagai berikut :
a. Pertama. Masa Kanak-kanak (sampai tujuh tahun). Tanda-tandanya sebagai berikut :
(1) Sikap keagaman reseptif meskipun banyak bertanya
(2) Pandangan ke-Tuhanan yang anthromorph (dipersonifikasikan)
(3) Penghayatan secara rohaniah masih superficial (belum mendalam) meskipun mereka telah melakukan atau partisipasi dalam berbagai kegiatan ritual.
(4) Hal ke-Tuhanan secara ideosyncritic (menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf kemampuan kognitifnya yang masih bersifat egosentric (memandang segala sesuatu dari sudut dirinya)
b. Kedua. Masa Anak Sekolah
(1) Sikap keagamaan bersifat reseptif tetapi disertai pengertian
(2) Pandangan dan faham ke-Tuhanan diterangkan secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang bersumber pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari eksistensi dan keagungan-Nya.
(3) Penghayatan secara rohaniah makin mendalam, melaksanakan kegiatan ritual diterima sebagai keharusan moral.
c. Ketiga. Masa remaja (12-18 tahun) yang dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan, adalah sebagai berikut :
(1) Masa remaja awal dengan tanda antara lain sebagai berikut :
(a) Sikap negatif disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hypocrit yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu sama dengan perbuatannya.
(b) pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain.
(c) Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptik (diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan penuh kepatuhan.
(2) Masa remaja akhir yang ditandai antara lain ;
(a) sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelang dewasa;
(b) Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
(c) Penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya, yang baik dari yang tidak baik. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup di dunia ini.
B. Proses Pertumbuhan Penghayatan Keagamaan
Para ahli juga sependapat bahwa meskipun tahapan proses perkembangan seperti di atas juga merupakan gejala yang universal, namun terdapat variasi yang luas, pada tingkat individual maupun tingkat kelompok tertentu. Peranan lingkungan sangat penting dalam pembinaan penghayatan keagamaan ini.
Dalam ajaran agama dijelaskan bahwa pada dasarnya manusia itu baik dan memiliki potensi beragama, maka keluarganyalah yang akan mewarnai perkembangan agamanya itu. Keluarga hendaknya menciptakan lingkungan psikologis yang mendukung pembentukan karakter anak dalam menjalankan ajaran agamanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bayi berada dalam tahap perkembangan moral yang oleh Piaget (Hurlock, 1980) disebut moralitas dengan paksaan (preconventional level) yang merupakan tahap pertama dari tiga tahapan perkembangan moral. Kohlberg memperluas teori Piaget dan menamakan tingkat kedua dari perkembangan moral akhir masa kanak-kanak sebagai tingkat moralitas konvensional (conventional level) atau moralitas dari aturan-aturan dan penyesuaian konvensional. Dalam tahap pertama dari tingkat ini yang disebutkan Kohlberg moralitas anak baik, anak mengikuti peraturan untuk mengambil hati orang lain dan untuk mempertahankan hubungan-hubungan yang baik. Tahap perkembangan ketiga, moralitas pasca konvensional (postconventional). Dalam tahap ini, moralitas didasarkan pada rasa hormat kepada orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat pribadi.
perkembangan penghayatan keagamaan dapat dibagi dalam tiga tahapan yang secara kualitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Tahapannya adalah sebagai berikut :
b. Pertama. Masa Kanak-kanak (sampai tujuh tahun). Tanda-tandanya sebagai berikut :
(1) Sikap keagaman reseptif meskipun banyak bertanya
(2) Pandangan ke-Tuhanan yang anthromorph (dipersonifikasikan)
(3) Penghayatan secara rohaniah masih superficial (belum mendalam)
(4) Hal ke-Tuhanan secara ideosyncritic yang masih bersifat egosentric (memandang segala sesuatu dari sudut dirinya)
b. Kedua. Masa Anak Sekolah
(1) Sikap keagamaan bersifat reseptif tetapi disertai pengertian
(2) Pandangan dan faham ke-Tuhanan diterangkan secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang bersumber pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari eksistensi dan keagungan-Nya.
(3) Penghayatan secara rohaniah makin mendalam, melaksanakan kegiatan ritual diterima sebagai keharusan moral.
c. Ketiga. Masa remaja (12-18 tahun) yang dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan, adalah sebagai berikut :
(1) Masa remaja awal dengan tanda antara lain sebagai berikut :
(a) Sikap negatif disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hypocrit yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu sama dengan perbuatannya.
(b) pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain.
(c) Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptik (diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan penuh kepatuhan.
(2) Masa remaja akhir yang ditandai antara lain ;
(a) sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelang dewasa;
(b) Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
(c) Penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya, yang baik dari yang tidak baik. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup di dunia ini.
B. Implikasi Terhadap Pendidikan
Dengan memahami perkembangan moral keagamaan anak diharapkan bagi para pendidik untuk dapat berupaya secara optimal membantu mengembangkan potensi moral dan keagamaan anak. Karena, semakin banyak pengetahuan tentang moral keagamaan anak, maka akan semakin baik kita membimbing moral dan keagamaan anak.
DAFTAR PUSTAKA
Havighurst, R. J. (1972). Developmental Tasks and Education. New York. Mac kay
Hurlock, Elizabeth. (2002). Psikologi Perkembangan ; Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga
Peterson, Candida. ( 1996 ). Looking Forward Through The Lifespan; Developmental Psychology. Australia : Prentice Hall.
Sunarto & Agung, Hartono. (2002). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Syamsudin, Abin M. (2005). Psikologi Kependidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Yusuf, Syamsu. (2000). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Rosda Karya.
Yusuf, Syamsu dan Nurihsan, Juntika. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Rosda Karya.